Pemerintah Harus Serius Sikapi Pengurangan Emisi Karbon
Emisi karbon memiliki dampak buruk bagi bumi. Bahaya emisi karbon ini menghasilkan efek pemanasan global pada iklim bumi. Akibatnya, bumi jadi lebih panas. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Wira Yudha mendesak Pemerintah serius terhadap pengurangan emisi karbon, melalui pengalokasian dana dan mengimplementasikan Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup serta peraturan perundangan yang berlaku lainnya.
“Kita harapkan Pemerintah serius mengenai pengurangan emisi ini dengan mengalokasikan anggaran, sehingga pada waktunya betul-betul menunjukan keberpihakan Indonesia terhadap masalah isu lingkungan,”kata Satya Yudha, Selasa (24/11/2015), di Jakarta.
Dalam acara yang diselenggarakan The United Nations Office for REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) Coordination in Indonesia (UNORCID) atau kantor perwakilan PBB yang lebih berfokus kepada masalah lingkungan. Bekerjasama dengan DPR RI dalam hal ini Komisi IV dan Komisi VII, para tenaga ahli anggota dan komisi mendapatkan informasi kekinian tentang masalah lingkungan.
Satya, menjelaskan bahwa dalam masalah lingkungan itu ada 2 aspek, yaitu pengelolaan hutan yang otomatis penerapan pada REDD+, dan mengelola buangan-buangan energi yang menimbulkan polusi.
Informasi yang berkembang di dunia saat ini, bagaimana negara menekan emisi karbonnya. seperti Indonesia ingin menekan emisi karbon sampai 26 persen. Tetapi, kata Satya, apabila kita bisa mendapatkan bantuan asing, maka penekanan emisi karbonnya bisa hingga 41 persen pada tahun 2030.
Ini suatu hal yang sangat penting sehingga semua komponen dari stakeholder atau pemangku kepentingan termasuk di dalamnya DPR RI yang nanti merativikasi beberapa perjanjian-perjanjian internasional dan mengenai hal-hal yang menyangkut lingkungan itu bisa sejalan.
“Sekarang dalam era demokrasi tentunya pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Pemerintah juga harus bekerjasama dengan DPR agat nanti ketika ada ratifikasi internasional bisa dijalankan dengan baik,”katanya.
Indonesia akan menghadapi Conference of the Parties (COP21) yang akan diadakan di Paris, membahas mengenai apa yang telah disepakati di dunia terhadap Protokol Kyoto bisa dilaksanakan dengan haik di seluruh negara.
Satya berharap dalam COP21 yang nanti akan diselenggarakan tanggal 30 November sampai tanggal 11 Desember, itu bisa berjalan dengan sukses, dan bisa menjadi instrumen bagi setiap negara yang mengikutinya.
“Karena ada konsekuensi hukum apabila tidak melaksanakan. Itu yang sedang dibahas supaya di dalam COP21 nanti Indonesia bisa membawa misi itu dengan baik. Dan bisa mempengaruhi negara-negara pencemar lingkungan yang lain untuk sepakat mengurangi pengurangan emisi karbon itu,”ungkapnya.
Lebih lanjut Satya menerangkan, dilihat dari sisi hutan, yang faktor utama menyangkut perubahan fungsi lahan, adanya deforestasi, dan perubahan lahan hutan menjadi bukan hutan. Apabila itu tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan masalah seperti pencemaran.
Di sisi energi, bahwa polusi udara yang paling besar yaitu berada pada transportasi darat yang otomatis tergantung pada bahan bakar yang dipakai. Bahan bakar di Indonesia masih belum mengikuti standar sampai Euro 4 yang bersih lingkungan.
“Kita masih menggunakan bensin yang mengandung timbal yang menimbulkan pencemaran. Itu yang menjadi faktor yang paling dominan, sehingga penggunaan energi bersih dikemudian hari, konversi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) tentunya berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon,”imbuhnya.
Disamping itu d ibidang listrik, dia ingin mendorong Pemerintah menggunakan energi baru dan terbarukan, seperti geothermal atau panas bumi, karena kita kaya kandungan panas bumi bisa menjadi faktor yang mendorong pengurangan emisi karbon untuk pembangkit tenaga listrik. (as) Foto: Naefuroji/parle/od